Berikut beberapa Hal Yang Harus Di Hindari Saat Hubungan atau Pacaran yang akan menganggu hubungan kamu sama kekasih atau pacar..
* Jangan Egois
Kalo dalam hubungan gak ada salah satu pihak yang mau ngalah, pasti ga
bakal bener, apalagi kalo nurutin ego pribadi terus-terusan. Misalnya si
pacar lagi sensi dan suka marah-marah ga jelas, mendingan kamu sabarin
aja. Kasih waktu biar pikirannya tenang. Intinya jangan egois.
* Jangan Masalahin Hal Kecil
Jangan gampang ngambek karena akan rusak kebahagiaan Kamu dan pasangan.
Ngambek atau marah boleh aja, tapi harus punya alas an yang kuat. Jangan
gara-gara si dia telat datang lima menit, acara kencan atau jalan Kamu
jadi berantakan. Lebih baik berdiskusi dan omongin baik-baik. Beckamu,
ketawa dan berbagi kebahagiaan sama pacar.
* Jangan Sibuk sama Hape
Maksudnya gini, kalo kita lagi jalan atau ngobrol sama pacar, misalnya
ada SMS/telpon atau BBM, kalo bisa biarin aja dulu. Atau kamu bisa minta
ijin sama pacar buat angkat telpon atau bales sms dari orang tersebut.
Gak enak juga kan lagi pacaran kamu malah sibuk sama hape.
* Jangan Bohong
Hal paling penting dan mengecewekan adalah di bohongin, jadi udahain
jangan bohong sama pacar. Kalo misalnya kamu mau jalan sama temen, gak
ada salahnya bilang sama pacar. Jangan sampe kamu ketauan bohong trus
pacar nyamperin, kan bisa kacau.
* Jangan Ingkar Janji
Janji adalah hutang, dan janji itu adalah kepercayaan. Tepat Janji itu
sangat penting, karena sekali kamu ingkar janji bisa aja gak dipercaya
selamanya sama pacar (atau orang lain), kecuali ada alasan yang tepat
dan masuk akal.
* Jangan Membandingkan Pacar dengan Orang Lain
Kadang kita suka keceplosan gak sengaja membandingkan pacar dengan orang
lain atau malah mantan pacar. Kalo bisa, gunakan kata "maaf" dan
liat-liat mood pacar sebelum ngomong.
* Jangan Membicarakan Mantan
Gak enak banget kalo misalkan pacar kita membangga-banggakan mantannya
di depan kita. Pastinya kita ngerasa gak dihargai banget dan pasti bikin
sakit hati. Karna bisa jadi si pacar / kita masih sayang sama mantan.
Baca Tips Melupakan Mantan Pacar.
* Jangan Ngebahas Kesalahan Masa Lalu
Kalo kamu lagi berantem sama pasangan, jangan sampe membahas kesalahan
masa lalu si dia. Karena hal itu cuma akan bikin si pacar bosan dan
merasa dipojokkan. Cobalah untuk memaafkan dengan tulus, kalo gak
hubungan kamu sama dia bisa jadi berantakan.
* Jangan Menghukum Pasangan
Hubungan akan lebih kuat kalo Kamu dan pasangan bisa saling mengerti
satu sama lain, dan saling memaafkan. Jangan pernah menjalin hubungan
yang berisi dendam atau hukuman. Menghukum pasangan hanya akan memberi
jarak dan hubungan yang dijalani semakin lama semakin renggang.
* Jangan Gampang Marah
Menurut perhitungan, hampir 99,9% cewek itu gak suka dibentak dan
dimarahin. Yang ada dia malah nangis. Kalo emang si pacar ada salah,
usahain omongin baik-baik ga perlu marah. Sayang juga kan kalo hubungan
kamu putus gara-gara kamu gampang amrah.
* Jangan Posessive
Nah ini nih, siapa sih yang mau di kekang sama pasangan. Kalo ga boleh
ini ga boleh itu, harus gini harus gitu, pastinya kan bikin gak enak
banget hubungan pacaran kamu. Hampir semua orang gak mau di atur kan.
Jadi jangan sampe Posesive deh sama pacar.
* Jangan Over Protect
Selain dilarang posesive, kamu juga jangan over protected sama pacar.
Mungkin niat kamu baik dan pengen perhatian sama pacar, tapi usahain
jangan berlebihan yah. Berusaha membuat Pacar merasa nyaman aja.
tempat berbagi cerita dan pengetahuan
Sabtu, 11 Mei 2013
Jumat, 15 Maret 2013
Pengerian pembelajaran
Arti Dan Makna Pembelajaran
Posted by ajie binuko, 21 April 2013
11 Votes
Pembelajaran
ialah membelajarkan siswa menggunakan asa pendidikan maupun teori
belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru
selaku pendidik dan belajar dilakukan oleh peserta didik. Makna dari
pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah sustu proses dimana
lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus
atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut
William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan,
dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak
sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak
bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap
merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Warisan alami yang dibawa
setiap jiwa ke bumi; hampir semua sikap buruk yang diperlihatkan manusia
apa adanya merupakan apa-apa yang didapatkan setelah mereka dilahirkan
kebumi. Ini menunjukkan bahwa kebaikan itu bersifat alami sementara
kejahatan tidak alami.
Berfikir luas tentang kehidupan yang
berkaitan dengan anak bukan hal yang mudah. Namun kita harus ingat bahwa
orang dewasa sering menyepelekan kapasitas pikiran seorang anak, yang
sebetulnya seringkali lebih berkeinginan untuk mengerti dan lebih mampu
memahami sesuatu daripada seorang dewasa. Meskipun Anda tidak bisa
memulai pendidikan anak dengan subyek yang mendalam, anda dapat selalu
menyimpan desain besar yang Anda lihat dan ingin Anda raih dihadapan
Anda.
Ada kesalahan terbesar pendidkan modern,
dengan segala metode melatih anak yang mutakhir, adalah telah kehilangan
sesuatu yang paling penting, yaitu: pelajaran tentang sifat tidak
mementingkan diri sendiri. Orang mungkin berfikir bahwa seseorang yang
tidak mementingkan diri sendiri tidak akan mampu untuk menjaga
kepentingan hidupnya sendiri; akan tetapi dalam kenyataan nampaknya
tidak demikian. Orang yang mementingkan dirinya sendiri mengecewakan
orang lain dan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Manusia itu
bebas, saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan
setiap orang tergantung pada kebahagiaan semuanya. Pelajaran inilah yang
harus dipelajari orang-orang sekarang sebagai pelajaran pertama
sekaligus terakhir.
Konsep pembelajaran
Peranan Guru bukan semata mata memberikan
informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar
(directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih
memadai.
Pembelajaran mengandung arti setiap
kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu
kemampuan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta
guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi
kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakangnya, akademisnya, latar
belakang social ekonominya dll.
Kesiapan guru dalam mengetahui
karakteristik siswa merupakan modal dar utama dalam menyampaikan bahan
ajar dan menjadi indicator dari suksesnya pembelajaran.
Bahan pelajaran dalam proses pembelajaran
hanya merupakan perangsang tindakan pendidik atau guru, antara belajar
dan mengajar dengan pendidikan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Proses pembelajaran adalah aspek yang terintegrasi dari
proses pendidikan.
Belajar kembali Tentang Cara Belajar
Hal yang paling berharga dalam belajar adalah bagaimana cara belajar, dengan alasan inilah maka sekolah harus bisa menciptakan :
- Suasana aman dan nyaman
- Siswa mempunyai kepercayaan dengan instruktur
- Tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang
Kombinasi faktor-faktor ini ditambah
dengan focus yang utama pada seluruh otak akan membuat para siswa
belajar lebih efektif dan mudah menyerap serta memahami dengan cepat
materi yang disampaikan oleh pendidik. Belajar yang efektif tentunya
harus menyenangkan, belajar adalah kegiatan seumur hidup yang dilakukan
dengan menyenangkan dan berhasil. Sehingga harus ditunjang dengan
lingkungan yang menyenangkan.
Quantum learning
Dari sejumlah teori belajar yamg telah dikemukakan para ahli pendidikan maupun psikologi pendidikan, belakangan ini ada pendekatan belajar yang disebut “Quantum Learning” berakar dari upaya Dr Georgi Lozanov. Beliau mengadakan penelitian dengan pendekatan eksperimen dan hasil penelitiannya ditemukan model belajar yang disebutnya “sugestology” yang pada prinsipnya sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar.Quantum learning mencakup aspek-aspek penting mengenai neurolinguistik yaitu bagaimana otak mengatur informasi dari hasil belajar. Dalam belajar siswa dan guru yang diharapkan adalah :
- Dapat meningkatkan motivasi
- Meningkatkan hasil belajar
- Memperbesar kenykinan diri
- Mempertahankan sikap yang positf
- Melanjutkan keberhasilan dengan memanfaatkan keterampilan yang sudah diperoleh.
Strategi Quantum Learning
Teknik untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukan siswa secara nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan prestasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugesti.Teknik ini menggabungkan Sugestology, teknik pemercepatan belajar dan NLP dengan teori keyakinan, termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti :
- Teori Otak kanan dan kiri
- Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik)
- Teori kecerdasan ganda
- Pendidikan holistic
- Belajar berdasarkan pengalaman
- Belajar dengan symbol
- Simulasi/permainan.
PARADIGMA PEMBELAJARAN
PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS.
KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Pendidikan di Indonesia selama
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat
behavioristik. Namun
demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan
perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian
nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan
kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada
proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa
terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan
dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas
beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan
konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana
kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem
pendidikan kita.
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah
sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan
konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses
belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan
dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif
meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang
diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep
ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan
dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak
hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm).
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan
melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan
teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti.
Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan
teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan
makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran
behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk
menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya,
paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena
pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang
tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional. Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007),
paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan,
kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan
pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas
kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang
mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah
bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut
mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir
divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan
berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik
membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan
berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari
visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum
yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan
potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan
berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif
budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat
berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan
hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup
"metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.
Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum
sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses
fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal
yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya
sendiri.
Kebijakan
Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran
Konstrutivistik
Kenyataannya, banyak kalangan
berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar
kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada
kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru
pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan
kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada
bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa
apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem
desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai
tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman
dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum
sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan
kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan
keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim
dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga
mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah
bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas.
Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat
profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama
dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu
dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis
guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus
pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai
perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan
bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena
mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam
(ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar
guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan
sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau
dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi
kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada
tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan
pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat
kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain
manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi
individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya
sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil
dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus
dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata
pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk
merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan
pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan
kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan
kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi,
atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum
sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan
fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik
terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi
profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun
formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan
kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas
bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh
menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk
mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah
dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan
negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi
wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
PARADIGMA PEMBELAJARAN
PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS.
KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Pendidikan di Indonesia selama
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat
behavioristik. Namun
demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan
perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian
nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan
kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada
proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa
terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan
dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas
beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan
konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana
kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem
pendidikan kita.
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah
sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan
konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses
belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan
dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif
meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang
diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep
ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan
dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak
hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm).
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan
melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan
teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti.
Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan
teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan
makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran
behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk
menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya,
paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena
pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang
tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional. Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007),
paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan,
kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan
pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas
kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang
mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah
bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut
mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir
divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan
berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik
membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan
berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari
visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum
yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan
potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan
berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif
budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat
berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan
hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup
"metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.
Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum
sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses
fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal
yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya
sendiri.
Kebijakan
Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran
Konstrutivistik
Kenyataannya, banyak kalangan
berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar
kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada
kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru
pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan
kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada
bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa
apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem
desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai
tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman
dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum
sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan
kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan
keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim
dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga
mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah
bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas.
Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat
profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama
dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu
dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis
guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus
pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai
perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan
bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena
mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam
(ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar
guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan
sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau
dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi
kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada
tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan
pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat
kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain
manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi
individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya
sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil
dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus
dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata
pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk
merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan
pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan
kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan
kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi,
atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum
sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan
fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik
terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi
profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun
formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan
kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas
bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh
menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk
mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah
dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan
negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi
wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
PARADIGMA PEMBELAJARAN
PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS.
KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Pendidikan di Indonesia selama
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat
behavioristik. Namun
demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan
perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian
nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan
kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada
proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa
terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan
dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas
beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan
konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana
kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem
pendidikan kita.
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah
sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan
konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses
belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan
dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif
meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang
diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep
ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan
dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak
hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm).
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan
melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan
teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti.
Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan
teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan
makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran
behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk
menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya,
paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena
pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang
tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional. Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007),
paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan,
kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan
pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas
kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang
mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah
bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut
mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir
divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan
berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik
membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan
berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari
visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum
yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan
potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan
berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif
budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat
berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan
hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup
"metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.
Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum
sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses
fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal
yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya
sendiri.
Kebijakan
Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran
Konstrutivistik
Kenyataannya, banyak kalangan
berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar
kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada
kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru
pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan
kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada
bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa
apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem
desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai
tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman
dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum
sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan
kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan
keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim
dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga
mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah
bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas.
Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat
profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama
dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu
dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis
guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus
pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai
perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan
bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena
mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam
(ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar
guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan
sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau
dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi
kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada
tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan
pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat
kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain
manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi
individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya
sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil
dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus
dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata
pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk
merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan
pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan
kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan
kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi,
atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum
sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan
fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik
terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi
profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun
formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan
kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas
bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh
menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk
mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah
dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan
negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi
wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
PARADIGMA PEMBELAJARAN
PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS.
KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA
HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Pendidikan di Indonesia selama
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat
behavioristik. Namun
demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan
perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai
konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi
pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang
mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi
paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di
tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik
pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis
keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan
merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam
kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi
akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan
publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma
pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian
nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan
kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada
proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa
terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan
dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas
beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan
konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana
kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem
pendidikan kita.
Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran
behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana
yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia
dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat
mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran,
yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan
berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement
and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah
sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan
konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses
belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan
dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif
meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang
diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep
ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan
dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak
hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus,
ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan
tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para
pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan
banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran,
behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam
proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan
kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya.
(http://www.sil.org/lingualinks/literacy/ImplementALiteracyProgram/BehavioristTheoriesOfLearning.htm).
Dalam praktik pendidikan di sekolah,
menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan,
bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu
secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam
melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan
kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol
belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran
behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah
belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam
realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak
terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan
kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan
pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa
satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar.
Terbingkai dalam paradigma
behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di
bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial
Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi
pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi
pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan
melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan
teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti.
Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan
teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan
makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih
diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan
produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan
intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku.
Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan
teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak
berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran
behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk
menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya,
paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena
pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang
tidak memanusiakan manusia secara utuh.
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun
makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada
waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena
persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit
manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada
sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran
lainnnya.
Teori
konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh
pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan
asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke
dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain,
akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental
seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru
yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional. Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam
kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait
dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik,
yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak
terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007),
paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan,
kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan
pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas
kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang
mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah
bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut
mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir
divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan
berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik
membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan
berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari
visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum
yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan
potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan
berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif
budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat
berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan
hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup
"metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.
Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum
sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses
fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal
yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya
sendiri.
Kebijakan
Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran
Konstrutivistik
Kenyataannya, banyak kalangan
berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar
kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada
kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru
pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan
kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada
bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa
apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem
desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai
tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman
dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum
sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan
kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan
keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim
dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga
mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah
bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas.
Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan
dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat
profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama
dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu
dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis
guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus
pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai
perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan
bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena
mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam
(ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar
guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan
sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau
dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi
kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada
tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan
pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat
kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain
manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi
individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya
sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil
dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus
dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata
pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk
merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan
pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan
kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan
kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi,
atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum
sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan
fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik
terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi
profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun
formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan
kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas
bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh
menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk
mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah
dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan
negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi
wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan
pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)