tempat berbagi cerita dan pengetahuan

Senin, 12 Januari 2015

"BERIKUT INI ADALAH CONTOH PENULISAN MAKALAH YANG BAIK DAN BENAR"
Makalah ini berjudul: “Konsep Link and Match: Fungsi Pendidikan Sebagai Pemasok Tenaga Kerja Siap Pakai” yang ditulis oleh Nunung Isa Anshori


I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dasar Link and Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya Link and Match dalam pendidikan
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan

II. Pembahasan

A. Konsep Link and Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).

B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match

1. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).

2. Pendekatan Ketenagakerjaan

Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain sebagai berikut:16
a. Belum tersedianya data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan berapa banyak lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan; dan sebagainya.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi lulusan lembaga pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan lat dan ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu Pendit bahwa "kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan". Kurikulum, sebagai bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang berlaku jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa sesaat.
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178). Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin:27 Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.

III. Kesimpulan

1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Denagn adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Cammings, Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas. 
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya Aditama.
Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. 
Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html 

Sabtu, 11 Mei 2013

HAL YANG DIHINDARI DALAM SUATU HUBUNGAN

Berikut beberapa Hal Yang Harus Di Hindari Saat Hubungan atau Pacaran  yang akan menganggu hubungan kamu sama kekasih atau pacar..


* Jangan Egois
Kalo dalam hubungan gak ada salah satu pihak yang mau ngalah, pasti ga bakal bener, apalagi kalo nurutin ego pribadi terus-terusan. Misalnya si pacar lagi sensi dan suka marah-marah ga jelas, mendingan kamu sabarin aja. Kasih waktu biar pikirannya tenang. Intinya jangan egois.

* Jangan Masalahin Hal Kecil
Jangan gampang ngambek karena akan rusak kebahagiaan Kamu dan pasangan. Ngambek atau marah boleh aja, tapi harus punya alas an yang kuat. Jangan gara-gara si dia telat datang lima menit, acara kencan atau jalan Kamu jadi berantakan. Lebih baik berdiskusi dan omongin baik-baik. Beckamu, ketawa dan berbagi kebahagiaan sama pacar.

* Jangan Sibuk sama Hape
Maksudnya gini, kalo kita lagi jalan atau ngobrol sama pacar, misalnya ada SMS/telpon atau BBM, kalo bisa biarin aja dulu. Atau kamu bisa minta ijin sama pacar buat angkat telpon atau bales sms dari orang tersebut. Gak enak juga kan lagi pacaran kamu malah sibuk sama hape.

* Jangan Bohong
Hal paling penting dan mengecewekan adalah di bohongin, jadi udahain jangan bohong sama pacar. Kalo misalnya kamu mau jalan sama temen, gak ada salahnya bilang sama pacar. Jangan sampe kamu ketauan bohong trus pacar nyamperin, kan bisa kacau.

* Jangan Ingkar Janji
Janji adalah hutang, dan janji itu adalah kepercayaan. Tepat Janji itu sangat penting, karena sekali kamu ingkar janji bisa aja gak dipercaya selamanya sama pacar (atau orang lain), kecuali ada alasan yang tepat dan masuk akal.

* Jangan Membandingkan Pacar dengan Orang Lain
Kadang kita suka keceplosan gak sengaja membandingkan pacar dengan orang lain atau malah mantan pacar. Kalo bisa, gunakan kata "maaf" dan liat-liat mood pacar sebelum ngomong.

* Jangan Membicarakan Mantan
Gak enak banget kalo misalkan pacar kita membangga-banggakan mantannya di depan kita. Pastinya kita ngerasa gak dihargai banget dan pasti bikin sakit hati. Karna bisa jadi si pacar / kita masih sayang sama mantan. Baca Tips Melupakan Mantan Pacar.

* Jangan Ngebahas Kesalahan Masa Lalu
Kalo kamu lagi berantem sama pasangan, jangan sampe membahas kesalahan masa lalu si dia. Karena hal itu cuma akan bikin si pacar bosan dan merasa dipojokkan. Cobalah untuk memaafkan dengan tulus, kalo gak hubungan kamu sama dia bisa jadi berantakan.

* Jangan Menghukum Pasangan
Hubungan akan lebih kuat kalo Kamu dan pasangan bisa saling mengerti satu sama lain, dan saling memaafkan. Jangan pernah menjalin hubungan yang berisi dendam atau hukuman. Menghukum pasangan hanya akan memberi jarak dan hubungan yang dijalani semakin lama semakin renggang.

* Jangan Gampang Marah
Menurut perhitungan, hampir 99,9% cewek itu gak suka dibentak dan dimarahin. Yang ada dia malah nangis. Kalo emang si pacar ada salah, usahain omongin baik-baik ga perlu marah. Sayang juga kan kalo hubungan kamu putus gara-gara kamu gampang amrah.

* Jangan Posessive
Nah ini nih, siapa sih yang mau di kekang sama pasangan. Kalo ga boleh ini ga boleh itu, harus gini harus gitu, pastinya kan bikin gak enak banget hubungan pacaran kamu. Hampir semua orang gak mau di atur kan. Jadi jangan sampe Posesive deh sama pacar.

* Jangan Over Protect
Selain dilarang posesive, kamu juga jangan over protected sama pacar. Mungkin niat kamu baik dan pengen perhatian sama pacar, tapi usahain jangan berlebihan yah. Berusaha membuat Pacar merasa nyaman aja.

Jumat, 15 Maret 2013

Pengerian pembelajaran


Arti Dan Makna Pembelajaran



11 Votes

Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asa pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru selaku pendidik dan belajar dilakukan oleh peserta didik. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah sustu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Warisan alami yang dibawa setiap jiwa ke bumi; hampir semua sikap buruk yang diperlihatkan manusia apa adanya merupakan apa-apa yang didapatkan setelah mereka dilahirkan kebumi. Ini menunjukkan bahwa kebaikan itu bersifat alami sementara kejahatan tidak alami.
Berfikir luas tentang kehidupan yang berkaitan dengan anak bukan hal yang mudah. Namun kita harus ingat bahwa orang dewasa sering menyepelekan kapasitas pikiran seorang anak, yang sebetulnya seringkali lebih berkeinginan untuk mengerti dan lebih mampu memahami sesuatu daripada seorang dewasa. Meskipun Anda tidak bisa memulai pendidikan anak dengan subyek yang mendalam, anda dapat selalu menyimpan desain besar yang Anda lihat dan ingin Anda raih dihadapan Anda.
Ada kesalahan terbesar pendidkan modern, dengan segala metode melatih anak yang mutakhir, adalah telah kehilangan sesuatu yang paling penting, yaitu: pelajaran tentang sifat tidak mementingkan diri sendiri. Orang mungkin berfikir bahwa seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri tidak akan mampu untuk menjaga kepentingan hidupnya sendiri; akan tetapi dalam kenyataan nampaknya tidak demikian. Orang yang mementingkan dirinya sendiri mengecewakan orang lain dan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Manusia itu bebas, saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan setiap orang tergantung pada kebahagiaan semuanya. Pelajaran inilah yang harus dipelajari orang-orang sekarang sebagai pelajaran pertama sekaligus terakhir.

Konsep pembelajaran

Peranan Guru bukan semata mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai.
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakangnya, akademisnya, latar belakang social ekonominya dll.
Kesiapan guru dalam mengetahui karakteristik siswa merupakan modal dar utama dalam menyampaikan bahan ajar dan menjadi indicator dari suksesnya pembelajaran.
Bahan pelajaran dalam proses pembelajaran hanya merupakan perangsang tindakan pendidik atau guru, antara belajar dan mengajar dengan pendidikan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Proses pembelajaran adalah aspek yang terintegrasi dari proses pendidikan.

Belajar kembali Tentang Cara Belajar

Hal yang paling berharga dalam belajar adalah bagaimana cara belajar, dengan alasan inilah maka sekolah harus bisa menciptakan :
  1. Suasana aman dan nyaman
  2. Siswa mempunyai kepercayaan dengan instruktur
  3. Tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang
Kombinasi faktor-faktor ini ditambah dengan focus yang utama pada seluruh otak akan membuat para siswa belajar lebih efektif dan mudah menyerap serta memahami dengan cepat materi yang disampaikan oleh pendidik. Belajar yang efektif tentunya harus menyenangkan, belajar adalah kegiatan seumur hidup yang dilakukan dengan menyenangkan dan berhasil. Sehingga harus ditunjang dengan lingkungan yang menyenangkan.

Quantum learning

Dari sejumlah teori belajar yamg telah dikemukakan para ahli pendidikan maupun psikologi pendidikan, belakangan ini ada pendekatan belajar yang disebut “Quantum Learning” berakar dari upaya Dr Georgi Lozanov. Beliau mengadakan penelitian dengan pendekatan eksperimen dan hasil penelitiannya ditemukan model belajar yang disebutnya “sugestology” yang pada prinsipnya sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar.
Quantum learning mencakup aspek-aspek penting mengenai neurolinguistik yaitu bagaimana otak mengatur informasi dari hasil belajar. Dalam belajar siswa dan guru yang diharapkan adalah :
  1. Dapat meningkatkan motivasi
  2. Meningkatkan hasil belajar
  3. Memperbesar kenykinan diri
  4. Mempertahankan sikap yang positf
  5. Melanjutkan keberhasilan dengan memanfaatkan keterampilan yang sudah diperoleh.
Motivasi seperti ini akan membuat guru lebih semangat dalam melaksanakan tugas profesionalnya dan juga memberi semangat pada siswa untuk memperoleh hasil belajar yang bermutu. Model pendekatan Quantum learning ini menggabungkan sugestology, teknik percepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori-teori pembelajaran. Model ini dapat digunakan pada semua pelajaran, lingkungan  dan sumber belajar model ini mempertimbangkan dengan cermat lingkungan positif, aman, mendukung, santai dan menggembirakan.

Strategi Quantum Learning

Teknik untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukan siswa secara nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan prestasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugesti.
Teknik ini menggabungkan Sugestology, teknik pemercepatan belajar dan NLP dengan teori keyakinan, termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti :
  1. Teori Otak kanan dan kiri
  2. Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik)
  3. Teori kecerdasan ganda
  4. Pendidikan holistic
  5. Belajar berdasarkan pengalaman
  6. Belajar dengan symbol
  7. Simulasi/permainan.

PARADIGMA PEMBELAJARAN

PARADIGMA PEMBELAJARAN:
BEHAVIORISTIK VS. KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA

HJ. IGA. WIDARI, SE, M.Pd.
Pembantu Ketua II STKIP Paracendekia NW Sumbawa 

Pendidikan di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan masih memiliki ciri-ciri yang sangat behavioristik. Namun demikian, sejak bergulirnya reformasi pada penghujung dekade 90-an, tuntunan perubahan paradigma pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengakomodasi prinsip-prinsip otonomi pendidikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kebijakan lainnya yang mengakomodasi keragaman dan fleksibilitas, atau dengan kata lain mengakomodasi paradigma konstruktivisme dalam pendidikan.
Permasalahannya adalah di tingkat persepsi publik dan khususnya persepsi para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tentang sejauh mana perubahan tersebut terjadi dan dirasakan. Publik pengguna dan peduli pendidikan khususnya sebagian pihak yang awam secara teknis keilmuan pendidikan umumnya hanya bisa mengalami perlakukan kebijakan dan merasakan dampaknya (bahwa perubahan tidak sungguh-sungguh ada dalam kenyataan), tetapi tidak bisa menunjukkan bukti-bukti secara empiris, apalagi akademis, di mana letak masalah yang sesungguhnya. Bahkan, bukan hanya kalangan publik luas, para guru pun masih banyak bertanya, jika benar-benar paradigma pembelajaran konstruktivistik diberlakukan, mengapa cara-cara lama seperti ujian nasional masih tetap ada, mengapa para pengawas mata pelajaran hanya menanyakan kelengkapan administrasi pembelajaran dan ketuntasan kurikulum, bukan pada proses pembelajaran dan penguasaan oleh siswa. Pertanyaan-pertanyaan serupa terus bermunculan, yang secara umum bermuara pada pesimisme terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Tulisan ini berusaha mengupas beberapa tema sentral: (a) paradigma pembelajaran behavioristik dan konstrutivistik beserta contoh implementasinya di lapangan, (b) bagaimana kaitan kedua paradigma ini dengan kebijakan desentralistik dalam sistem pendidikan kita.

Paradigma Pembelajaran Behavioristik
Teori pembelajaran behavioristik mencari penjelasan-penjelasan dari tingkah laku yang sederhana yang dapat didemonstrasikan secara ilmiah.oleh karena itu, dan arena manusia dianggap menyerupai mesin, penjelasan behavioristik cenderung agak bersifat mekanis. Teori ini memanfaatkan dua kategori penjelasan tentang pembelajaran, yaitu penjelasan berdasarkan pada perilaku stimulus dan respon, dan penjelasan berdasarkan akibat dari tingkah laku yaitu penguatan dan hukuman (reinforcement and punishment).
Beberapa prinsip dari teori behavioristik adalah sebagai berikut:
o pengulangan
o tugas secara berurutan dari hal-hal yang kecil dan konkret
o penguatan positif dan negatif
o konsistensi dalam penggunaan penguat selama proses belajar mengajar
o kebiasaan dan respon yang tidak diharapkan dapat dihancurkan dengan menghilangkan penguat positif yang terhubung pada mereka
o penguatan yang cepat, konsisten dan positif meningkatkan kecepatan pembelajaran
o ketika suatu item dipelajari, penguatan yang diberikan akan memperkuat daya ingat
Selama bertahun-tahun, konsep-konsep ini mendasari sebagian besar teori yang diterapkan dalam pendidikan anak dan dalam kelas pada umumnya. Orang tua dan guru masih menemukan bahwa dalam banyak hal siswa dapat belajar ketika disediakan dengan campuran yang cocok antara stimulus, ganjaran, penguatan negative dan hukuman. Khususnya dengan anak-anak kecil dan tugas-tugas yang lebih sederhana, prinsip-prinsip behavioral sering efektif.
Namun demikian, pada akhirnya, para pendidikan mulai merasakan bahwa walaupun stimulus-respon dapat menjelaskan banyak tingkah laku manusia dan memiliki tempat yang kuat dalam pengajaran, behaviorisme sendiri dianggap tidak cukup untuk menerangkan fenomena dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi ruang-ruang kesenjangan inilah, pendekatan kognitif atau konstruktivisme mulai mendapatkan tempatnya. 
Dalam praktik pendidikan di sekolah, menurut Degeng (2007), pembelajaran behavioristik menekankan pada keteraturan, bahwa pembelajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas ditetapkan lebih dulu secara ketat dan disiplin merupakan sesuatu yang sangat pokok. Kegagalan dalam melaksanakan aturan merupakan kesalahan yang harus dihukum karena ketaatan kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Dengan demikian, kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri pembelajar. Tujuan pembelajaran behavioristik adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari. dalam realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari),mengikuti urutan kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil. Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses belajar.
Terbingkai dalam paradigma behavioristik, menurut Kamdi (2004), sekolah-sekolah di negeri kita dibangun di bawah substruktur industri dan dunia usaha, termasuk mengikuti sistem kolonial Belanda di mana sekolah semata-mata untuk melahirkan tenaga untuk menjadi pegawai pemerintahan dan perusahaan kolonial. Sekolah-sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi dan politik. Akibatnya, di sekolah terjadi diferensiasi pengetahuan. Debat isu soal jenis pengetahuan apa yang penting dikembangkan melalui sekolah (sebut saja diferensiasi pengetahuan itu antara pengetahuan teknis atau sains, dan yang lain: sosial-humaniora) tak kunjung henti. Karakteristik ekonomi industrial yang korporatif memerlukan produksi pengetahuan teknis (tingkat tinggi) untuk menjaga perangkat ekonominya berjalan efektif dan makin canggih dalam memaksimalkan peluang ekspansi ekonominya. Apa yang lebih diperlukan bukan perluasan pengetahuan berstatus tinggi, tetapi memaksimalkan produksi. Akibatnya, kurikulum sekolah sarat dengan pengetahuan teknis dan intelektualistik statis. Sekolah hadir menjadi lembaga industrial yang kaku. Karakter metode mengajarnya menjadi lebih cenderung melatihkan pengetahuan teknis, memompakan pengetahuan isi (content knowledge) yang kadang tidak berpijak pada konteks sosial dan budaya masyarakat.
Singkatnya, paradigma pembelajaran behavioristik memiliki manfaat dalam beberapa hal, namun tidak cukup untuk menjelaskan atau mendasari semua fenomena pembelajaran. Pada kenyataannya, paradigma ini telah dimanfaatkan untuk mendasari hampir semua fenomena pembelajaran sehingga melahirkan kesalahkaprahan dan dampak-dampak lain yang tidak memanusiakan manusia secara utuh.

Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang mengargumentasikan bahwa manusia membangun makna dari berbagai struktur pengetahuan yang ada pada dirinya. Pada waktu-waktu yang lalu pemikiran konstruktivis tidak dihargai secara luas karena persepsi bahwa anak-anak bermain dipandang tidak bertujuan dan memiliki sedikit manfaat. Dewasa ini, teori konstruktivis sangat berpengaruh khususnya pada sektor pembelajaran informal dan mulai diperkenalkan dalam sektor pembelajaran lainnnya.
Teori konstruktivisme menjelaskan bagaimana pengetahuan diinternalisasikan oleh pembelajar, yaitu melalui dua macam proses, yaitu proses akomodasi dan asimilasi. Ketika seseorang berasimilasi, ia menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka tersebut. Di sisi lain, akomodasi adalah proses membuat kerangka ulang pada representasi mental seseorang tentang dunia luar agar bisa sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru yang diterima.
Perlu dipahami bahwa konstruktivisme tidak menganjurkan suatu cara pendidikan tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung, yaitu bahwa pembelajar mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme merupakan gambaran kognisi manusia yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang mempromosikan learning by doing.
Dalam kaitan dengan pembelajar, teori konstruktivisme memandang siswa sebagai individu unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik, dan memiliki kepribadian yang kompleks dan multidimensional.  Teori konstruktivisme tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas pembelajar, tetapi juga mendorong, memanfaatkan, dan menghargainya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
Teori konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran harus secara bertahap menjadi tanggung jawab pembelajar. Berkaitan dengan motivasi, teori ini menyatakan bahwa motivasi yang berkelanjutan untuk belajar tergantung sungguh pada kepercayaan diri pembelajar pada potensi yang dimilikinya untuk belajar. Perasaan kompeten dan keyakina pada potensi diri untuk memecahkan masalah berasal dari pengalaman langsung mengatasi masalah-masalah di masa lalu dan lebih kuat dibanding pengakuan dan motivasi eksternal. Hal ini terkait dengan konsep Vygotsky yaitu zone of proximal development, yaitu bahwa siswa ditantang dengan suatu masalah yang tingkat kesulitannya mendekati, namun sedikit di atas tingkat perkembangannya yang alami atau aktual. Dengan keberhasilan mengatasi masalah yang menantang tersebut, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menghadapi masalah yang lebih rumit.
Dalam kaitan dengan guru, pendekatan konstruktivis meletakkan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Terkait dengan asesmen (penilaian), teori konstruktivisme menekankan asesmen dinamik, yaitu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam hal ini, asesmen dan pembelajaran merupakan proses bertautan dan tidak terpisahkan. Pengetahuan tidak dipandang sebagai pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai satu kesatuan yang terpadu. (en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
Lebih lanjut, menurut Degeng (2007), paradigma konstrutivistik memiliki ciri khas pokok berupa ketidakaturan, kebebasan dan keragaman. Dalam hal ini, kegagalan atau keberhasilan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama harus dihargai. Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, dan beorientasi pada proses yang mengikuti pandangan pembelajar. Proposisi pembelajaran konstruktivistik adalah bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru; untuk itu, guru dituntut mendorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari, mendorong munculnya berpikir divergent, bahwa tidak hanya ada satu jawaban yang benar, mendorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas, menekankan pada keterampilan berpikir kritis dan menggunakan informasi pada situasi baru.
Penerapan paradigma konstruktivistik membawa angin perubahan dunia pendidikan nasional. Pembaruan itu akan berimplikasi amat luas (Kamdi, 2004). Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter. Kurikulum yang fleksibel dan egaliter merupakan strategi untuk membelajarkan dan mengembangkan potensi individu. Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian, yang memandang kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukan hal yang terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri.

Kebijakan Desentralistik Pendidikan dan kaitannya dengan Paradigma Pembelajaran Konstrutivistik

Kenyataannya, banyak kalangan berpendapat bahwa paradigma pendidikan kita masih dilingkupi oleh berlakunya standar kurikulum dan ujian nasional secara ketat, termasuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada kalangan bertanya apakah Pemerintah sungguh-sungguh membangun paradigma baru pendidikan nasional untuk keluar dari jebakan teori pendidikan kapitalis-industrialis. Kiranya isu inilah yang perlu mendapat pembahasan pada bagian ini.
Harus diakui (bahkan dimaklumi) bahwa apa yang berlaku dalam sistem pendidikan kita dewasa ini adalah sistem desentralistik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang sampai tingkat tertentu menyiratkan pesan sentralisasi). Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang desentralisai pendidikan, termasuk perumusan kebijakan kurikulum sangat diperlukan, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Desentralisasi pembuatan keputusan kurikulum di sekolah mengacu pada pengakuan dan pelimpahan wewenang pembuatan keputusan tentang kurikulum kepada guru secara individual atau sebagai tim dalam lingkup sekolah, kecamatan atau kabupaten. Para pembuat kebijakan juga mencakup pimpinan seperti koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kepala sekolah, dan kepala sub dinas kurikulum di tingkat dinas. Ciri khas utama dari sistem pendidikan desentralistik adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan internal dari para guru dan sekolah sebagai sebuah masyarakat profesional.
Bentuk desentralisasi yang pertama dalam pembuatan keputusan kurikulum terletak di tangan guru sebagai individu dengan kelas-kelas yang mereka ajarkan. Jadi, pengembangan kurikulum berbasis guru (teacher-based curriculum development) ditandai oleh adanya fokus pada kelas sebagai konteks perencanaan pendidikan dan individu guru sebagai perencananya. Pengembangan kurikulum berbasis guru didasarkan pada kenyataan bahwa gurulah satu-satunya orang yang dapat mengembangkan kurikulum, karena mereka melakukan kontak langsung dengan siswa dan konteks di mana siswa berdiam (ruang kelas) dan belajar. Namun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar guru tidak mempunyai waktu, sumber daya, dan keahlian untuk mengembangkan bahan sendiri, sehingga mereka harus mencari bahan-bahan yang sudah ada atau dipublikasikan. Karena pertimbangan ini, sentral pembuatan dan reformasi kurikulum desentralistik yang paling dianggap logis haruslah berada pada tingkat sekolah atau setingginya pada tingkat kabupaten.
Ada dua kondisi yang memungkinkan pembuatan keputusan kurikulum pada tingkat sekolah atau setidak-tidak tingkat kabupaten untuk berhasil. Yang pertama berkaitan dengan kerjasama dan yang lain manajemen lembaga. Dalam berbagai pengamatan penulis, guru masih menjadi individu terisoler yang dikerangkeng dalam ruang kelas bersama muridnya sekalipun ia sebenarnya bekerja dalam suatu institusi, padahal agar berhasil dalam inovasi dan perubahan, semangat bekerjasama dan komunitas harus dipelihara. Dalam suatu lingkungan kolaboratif, guru dan koordinator mata pelajaran, wakasek kurikulum, dan pengawas mata pelajaran bekerja sama untuk merumuskan tujuan dan proses-proses dalam mengagendakan perubahan dan pembaharuan guru (teacher renewal).
Dari pembahasan tentang pembuatan kebijakan kurikulum desentralistik sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan adalah sentral tempat berlangsungnya inovasi pendidikan dan kurikulum. Sebagai bagian dari sebuah sistem yang besar, nasional, propinsi, atau universitas, lembaga pendidikan (sekolah) adalah pusat. Suatu kurikulum sentralistik (seperti kurikulum dari Jakarta) tetapi diterapkan dengan fleksibel sesungguhnya masih memberi peluang sekolah untuk membagi praktik terbaik (best practices) dengan bermacam-macam cara seperti publikasi profesional, pelatihan, dan proses pembaharuan kurikulum secara informal maupun formal. Jadi, hubungan antara berbagai sekolah sebagai inovator lokal, dan kebijakan-kebijakan terpusat bersifat dialogis dan multi-arah.
Dalam kaitan ini, perlu dipertegas bahwa peran dari berbagai standar pendidikan dan ujian nasional tidak boleh menghambat agenda desentralistik, tetapi semata-mata dihajatkan untuk mewujudkan desentralisasi yang kompetitif dan kompatibel antara satu sekolah dengan sekolah lain, satu daerah dengan daerah lain, antara Indonesia dan negara lain. Di samping itu, agenda standarisasi dan sentralisasi menjadi wahana menyatukan istilah sehingga mempermudah proses pertukaran informasi dan pembelajaran antara satu satuan pendidikan dan daerah dengan yang lain.
(Terbit di Harian Gaung NTB, 31 Januari & 1 Februari 2008)